Dunia Akhirat Seimbang. Yakin?
Sebagian kita mungkin mengklaim ‘yang penting imbang dunia akhirat’. Namun pada kenyataannya ketika ditelisik hampir pasti isinya ‘duniawi thok’.
Satu contoh kecil, soal membaca Quran. Membaca ya, belum mentadaburi. Berapa hari kita butuh khatam? 2 bulan? 3 bulan?.
Ibnu Qudamah dalam Al mughni menstandarisasi khatam itu 40 hari sekali. Standar minimum!.
وىكره ان ىوءخّر ختمه القرآن اكثر من اربعىن ىوما
“Dimakruhkan bagi seorang muslim tidak khatam baca quran dalam 40 hari”.
Ini pendapat ulama besar, tentu dengan kalkulasi yang hati-hati sekali. Ini patut jadi refleksi bagi kita.
Nah, jika standar minimum saja belum sampai, layakkah kita mengklaim sudah imbang dunia akhirat?
Maka ada rumus dari para sahabat & tabi’in yang bisa kita pegang.
Pertama, dunia akhirat itu jangan dicita-citakan imbang. Kaidah yang benar adalah kejar akhirat, semua hanya untuk akhirat, maka dunia pun akan datang dengan sendirinya kepada kita dalam keadaan rendah.
Kedua, jangan pernah merasa sudah baik. Jangan pernah merasa sudah cukup ibadah.
Firman Allah, “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
(QS. An Najm: 32).
Sebuah nasihat dari imam Ahmad bin Hanbal,
اسفر قراىب وطراق طواىل وزاد قلىل
Awal perjalanan sebentar lagi, perjalanannya sangat panjang, sementara bekal begitu sedikit.