Jangan Sampai Merasa Lebih Baik Dari Orang Lain
Ada benang merah kalau kita menyimak pola pikir atheis, atau liberalis, atau majelis tafsir alquran yang terlalu pede menafsirkan dengan akal sendiri tanpa referensi para salaf.
Mereka selalu ‘merasa paling’ benar/pintar padahal sebaliknya. Layaknya fresh graduates yang merasa hebat, dan ciut seketika begitu tahu persaingan luar. Mereka merasa paling open minded, padahal ‘kaca mata kuda’.
Kalau kita runut penyakitnya selain karena kebodohan, hampir pasti ada pada hati, hati yang kotor karena berbangga diri.
Kadang kita menjauhi riya’ tetapi pada waktu yang bersamaan jiwa kita terpenjara dengan ujub.
Bangga dengan amalan, dengan ilmu, dengan suksesnya dakwah, status-status bagus, dst.
Padahal ujub sama dengan riya’. Ujub bisa membuat kita terjerumus ke jahannam, ujub juga syirik kecil seperti riya’.
Sabda Rasulullah: “Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujubnya seseorang terhadap dirinya”..
(HR at-Thobroni. Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)
Ujub itu membinasakan. Ibnul Qoyyim dalam Al wabil As shayyib pernah menukil perkataan salaf, bahwa ada hamba melakukan dosa, dan dosa tersebut menyebabkan masuk surga. Dan ada hamba yang melakukan kebaikan yang menyebabkannya masuk neraka.
Dia melakukan dosa kemudian dia takut, menangis, menyesal, malu kepada Allah, maka jadilah dosa tersebut lebih bermanfaat baginya.
Maka patutlah kita merenungkan 4 hal. Pertama, yakinkah kita ikhlas lillah dalam beramal?. ikhlas tidak akan peduli pujian/cacian.
Kedua, perusak amalan sangat banyak. Cek QS Al Baqarah 264, juga QS Al Hujurat 2. Belum lagi maksiat, lalai shalat, membuka aurat, riba bisa menggiurkan amalan kita.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ
الْكٰفِرِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.
QS Al Baqarah : 264
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. (QS Al Hujurat : 2).
Ketiga, penilaian Allah yang utama, bukan amalan. Kadang orang terlihat amalannya rendah, ternyata sangat tinggi di sisi Allah. Seperti Uwais Al-Qorni rahimahullah misalnya.
Keempat, ingat bahwa banyak dosa yang kita lakukan tanpa sadar. Hasad, buruk sangka, sebar hoax, nyinyir, blablabla. banyak!
Maka jika begitu, masihkah kita bisa bangga diri dan merasa lebih baik dari orang lain?