Kerja Adalah Ibadah. Benarkah?
Ada yang pernah bertanya pada Nabi ﷺ, “ya Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi)”. (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi).
Islam mengatur semua hal untuk kebaikan kita. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Apalagi soal bekerja, semua detail diatur. Namun benarkah bekerja itu ibadah? Tergantung. Ada syaratnya.
Pertama, Niat. Niatkan bekerja untuk taqarrub ilaAllah. Ibadah ada yang mahdhah : shalat, shaum, zakat, haji. Ada juga ghairu mahdah yang cakupannya lebih luas. Semua sendi bisa jadi ibadah, termasuk bekerja.
Bahkan memotong kuku atau masuk kamar mandipun bisa jadi ibadah, jika niat & caranya benar.
Maka kedua, caranya benar, sesuai sunnah. Percuma jika niat benar tapi cara salah. Contoh, Niat shalat isya’ benar, namun karena ‘terlampau shalih’ tambah rakaat jadi 6, maka justru berdosa, bahkan bid’ah, dosa besar tapi tak terasa.
Begitu juga dengan bekerja, caranya harus benar, ditempat yang benar, tidak bertentangan dengan syariat bahkan seharusnya bisa menjadi wasilah untuk dakwah & taqarrub ilaAllah.
Jika justru bikin futur, malas ibadah, lembur sampai bolong tahajjud, shubuh kesiangan, ikhtilat laki perempuan, bahkan kecemplung riba. Maka ini teguran Allah. Periksa lagi.
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS Al Jumuah : 10).
Ini rumusnya. Shalat itu pakemnya, kerja adalah faktor kedua. Maka ketika ada pekerjaan yang mengganggu shalat berarti yang harus diutak-atik adalah pekerjaannya, bukan pakemnya.
Ketiga, tawakkal & ikhlas. Berkaitan dengan niat tadi, namun soal long termnya. Maka kita harus sangat hati-hati sekali dengan ini.
Mungkin awalnya lillah, jihad menafkahi keluarga, namun di tengah jalan diuji, akhirnya ‘gila kerja’, maruk harta, keras hati, lupa bahwa rizki sudah diatur, shalat telat-telat dst. Maka ini berubah jadi keburukan baginya.
Ingat bahwa ujian kecukupan itu lebih berat dari ujian kekurangan.
Sabda Rasulullah , “Aku pernah berdiri di pintu surga, ternyata umumnya yang memasukinya adalah orang miskin. Sementara orang kaya tertahan dulu. Hanya saja, penduduk neraka sudah dimasukkan ke dalam neraka”. (HR Ahmad, Bukhari, Muslim).
Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan hadits ini,
والغني يرى أنه مستغن بماله ، فهو أقل تعبداً من الفقير
“Orang kaya merasa dirinya sudah cukup dengan hartanya sehinga mereka sedikit beribadah dibandingkan orang miskin”.
Inilah maksud Ayat bahwa kita rentan lalai jika dalam kondisi berkecukupan.
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (Al ‘Alaq: 6-8).
Maka penting untuk tetap giat bekerja keras, HARUS SEMANGAT!. Namun tujuannya agar bisa semakin banyak beramal & berinfaq, dunia hanya bonus.
Sabda Rasulullah : Manusia selalu mengatakan, “Hartaku… hartaku…” padahal hakekat dari hartamu hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kamu gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat.
(HR. Ahmad 16305, Muslim 7609 dan lainnya).
Kejar dunia akhirat akan luput. Kejar akhirat dunia akan ikut. Semoga berkah & manfaat. Wallahu a’lam.