Celaka Hamba Qathifah
Orang yang orientasinya hanya dunia, dia akan menyangka ketika mengumpulkan harta dia akan menguasai hartanya sedangkan hakikatnya di yang sedang dikuasai hartanya sendiri, tanpa terasa dia menyembah hartanya. Itulah mengapa terdapat ungkapan indah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تعس عبد الدينار والدرهم والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي،
وإن لم يعط لم يرض.
“Celaka hamba dinar dan dirham, dan hamba qathifah, dan khamishah. Kalau diberikan kepadanya dunia itu dia senang dan jika tidak maka diapin marah”. (HR. Bukhari 2886).
Qathifah adalah kain lembut halus, semacam kain sutra atau yang ada beludrunya dan semisalnya. Hadits ini menyiratkan bahwa tanpa terasa terkadang manusia justru menjadi hamba dinar dirham, hamba qathifah, kesibukannya hanya harta, baju branded, pencitraan saja.
Jangan dikira pula, penyakit hamba dinar hamba qathifah ini hanya menjangkiti orang kaya saja. Bahkan yang kekurangan harta pun banyak yang kena penyakit ini. Maka lihat di antara cirinya adalah,
فإن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض.
“Kalau diberi harta dia senang, kalau tak mendapat harta maka dia marah”.
Sebagian manusia rela bermaksiat, meninggalkan shalat demi pekerjaannya, rela bertikai dengan saudaranya hanya demi bisnisnya, tak peduli dia kaya atau miskin jika dia punya ciri itu maka itulah penyakit hamba dinar. Semakin kuat cirinya semakin mengakar pula penyakitnya. Maka orang seperti inilah yang disebut sebagai تعس (celaka), mengapa? Karena dia bodoh, dia lupa dunia hanya sementara, sedangkan bekal akhirat yang perjalanannya begitu panjang dan abadi terlalu sedikit.
Ada yang pekerjaannya terkait dengan keduniaan namun ketika orientasinya akhirat maka dia selamat, namun ada pula orang yang bekerja dalam kegiatan agama kemudian dia jadikan gaji dan penghasilannya sebagai tujuan utama maka dia juga termasuk yang disebut sebagai تعس (celaka), sungguh dia juga hamba dinar hamba qathifah.
Maka sambunglah niat itu, jangan berhenti hanya ingin memiliki dunia melainkan lanjutkan agar dunia yang diraih menjadi sarana untuk beribadah kepada Allah. Jika pekerjaannya membuat jauh dari Allah, malas shalat, hati keras, makin susah menerima nasehat, dan seterusnya, sekalipun pekerjaannya terkait dengan agama maka bisa jadi ini tanda dia terkena penyakit hamba qathifah. Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam memberikan parameternya,
و اعلم أن المذموم من الدنيا كل مايبعد العبد عن الله تعالى ويشغله
عن واجب طاعته وعبادته لا ما يعينه على الأعمال الصالحة
فإنه غيرمذموم وقد يتعين طلبه ويجب عليه تحصيله.
“Ketahuilah sungguh yang tercela dari urusan dunia itu adalah segala hal yang menjauhkan seseorang dari Allah ta’ala, dan menyibukkan dari hal-hal yang wajib atasnya, dari taat kelada Allah dan beribadah kepada Allah. Adapun perkara dunia yang membantunya melakukan amalan shalih, maka itu tak tercela. Bahkan terkadang itu bisa jadi diharuskan dan wajib untuknya untuk mencari dan mendapatkannya”.
Itulah mengapa saking bahayanya dunia, Rasulullah memberikan wasiat khusus kepada Ibnu Umar ketika muda,
كن في الدنيا كأنك غريب، أو عابر سبيل.
“Hiduplah engkau di dunia seperti orang yang asing atau sekedar numpang lewat”.
Ini bukan nasehat biasa, diriwayatkan ketika memberikan nasehat ini beliau memegang kedua pundak Ibnu Umar, menunjukkan bahwa Nabi benar-benar serius terhadap wasiat ini dan betapa besar kasih sayang beliau.
Wasiat kepada pemuda adalah perkara penting, karena umumnya mereka belum terlalu tenggelam dalam urusan dunia dan kebutuhannya belum banyak seperti orang yang berkeluarga.
Seakan-akan nasehat ini seperti pesan penting untuk pemuda di tepian laut dunia, yang sebentar lagi dia akan menghadapi ganasnya ombak dunia, maka jangan sampai kau hanyut dengannya, jadilah seperti musafir di suatu kota, yang dia hanya mengambil manfaat di kota itu seperlunya saja karena dia tahu tak akan lama di sana.
Tatkala dia melihat kemewahan rumah dan mobil penduduk kota tersebut dia pun tak terlalu peduli. Buat apa dia bangun rumah mewah di kota singgah yang hanya ia tempati sebentar saja?. Maka dia hanya akan fokus bagaimana membangun rumah di kampungnya, kampung akhirat yang sesungguhnya. Dia rindu bertemu orang yang dicintainya di kampung akhirat, sahabatnya, kekasihnya. Adapun di kota itu, dia sama sekali tak tertarik dengan kelebihan mereka.
Nabi ketika ditawari untuk dibuatkan kasur oleh Ibnu Mas’ud karena tempat tidur beliau hanya tikar yang ketika bangun ada bekas tikar di badan beliau karena kerasnya tikar tersebut, jawab Rasulullah,
ما لي وللدنيا، ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة
ثم راح وتركها.
“Apa urusanku dengan dunia? Tidaklah aku di dunia ini melainkan hanya seperti orang yang sedang berkendaraan, lalu singgah sejenak di bawah pohon untuk berteduh, lalu berlalu setelah rehat sejenak”.