Fikih

Jenis-jenis Metode Hisab Dalam Penentuan Awal Bulan

Setidaknya ada 5 metode yang digunakan para ahli hisab :

Pertama, Hisab Urfi. Urfi artinya sesuai kebiasaan. Ini metode paling kuno, hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang hasilnya tentu tidak se presisi dengan metode hisab atau rukyat modern.

Kedua, Hisab Taqriby. Taqriby artinya pendekatan (aproksimasi). Metode ini telah melibatkan prinsip astronomi dan matematis. Hanya saja masih menggunakan rumus sederhana dan akurasinya juga rendah.

Ketiga, Hisab Haqiqi. Haqiqi artinya realita. Metode ini menggunakan prinsip astronomi dan rumus matematis, dilengkapi dengan data-data astronomi yang lebih detail, sehingga memiliki tingkat ketelitian yang tinggi.

Keempat, Hisab Haqiqi Tahqiqi. Tahqiq artinya pasti. Metode ini sebenarnya pengembangan dari metode pertama, yang diklaim memiliki tingkat akurasi sangat pasti. Namun dalam perhitungannya, tetap ada toleransi standar deviasi (faktor koreksi ketidak tepatan).

Kelima, Hisab Kontemporer & Astronomi modern. Metode ini dibantu dengan komputerisasi untuk perhitungan, sehingga dianggap memiliki algoritma dengan akurasi tinggi. Sebut saja stellarium atau starrynight, atau situs yang dimiliki muslim seperti moonsighting. 

Perlu kita ketahui bahwa metode hisab tak sesederhana itu, ada banyak metode, pendekatan, dengan berbagai kriteria pula. Sebagian menggunakan kriteria ijtima’ qablal ghurub, ada juga ijtima’ qablal fajri, kriteria wujudul hilalnya Muhammadiyah, dan kriteria imkanur rukyat yang digunakan pemerintah. 

Pun juga ada yang berpedoman ufuk hakiki, yakni mengukur ketinggian hilal hissi ditarik dari titik pusat bumi, dan ada yang berpedoman ufuk hissi, diukur dari permukaan bumi. Dan semua itu tetap saja dibangun atas dasar asumsi dan prediksi. Ilmu hisab adalah ilmu pasti namun ia tetap saja sekedar dzanni, prediksi. Dan dalam perhitungan secanggih apapun pasti ada standar deviasi, toleransi kesalahan perhitungan, bahkan algoritma software terkini juga tetap ada toleransi kesalahannya.

Sedemikian hingga dalam metode penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, metode hisab sangat bagus untuk menjadi data pendukung namun tetap membutuhkan rukyat hakiki. Karena ini berkaitan dengan perintah ibadah, sedangkan kaidah fiqhnya,

الأصل في العبادات التحريم حتى يقوم دليل على أنها 

عبادة مشروعة

“Secara asal ibadah terlarang dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukkannya sebagai ibadah yang masyruk.” 

Allah ta’ala menjadikan sesuatu yang meyakinkan sebagai acuannya, bukan hal yang sifatnya prediksi (metode selain rukyat sekalipun ilmu pasti namun sifatnya masih prediksi, ia bisa digunakan sebagai alat bantu namun menurut sebagian ulama tetap blm bisa menjadi acuan), karena perintahNya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa diantara kalian yang telah menyaksikan hilal, maka hendaknya dia berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185).

Secara asal disebut menyaksikan, ketika ia melihat kejadian terbitnya hilal, bukan sebatas memprediksi. Dan tentu kurang tepat ketika ada yang mengatakan hilal telah terbit dan buktinya hasil perhitungannya di atas kertas, karena ini bukan bukti, melainkan prediksi. Sedangkan dalam masalah penetapan awal ramadhan, Allah ta’ala menjadikan sesuatu yang meyakinkan sebagai acuan, yaitu menyaksikan hilal. Bukan sesuatu yang sifatnya prediksi.

Sedemikian hingga, kurang tepat pula jika kita menganggap penentuan Awal/akhir bulan bersifat ta’qquly (berdasar akal), karena peletakan dasar hukumnya (terlihatnya hilal) harus tauqify karena berkaitan dengan sebab musabbab disyariatkannya ibadah, adapun hitung-hitungannya memang bersifat ta’aqquly. Sehingga hisab (ta’qquliy) tidak boleh melampau batas tauqifiynya (dalil wahyu) yakni perintah rukyat.

Dulu, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa mengatakan,

وليس لأحد منهم طريقة منضبطة أصلا بل أية طريقة سلكوها

 فإن الخطأ واقع فيها أيضا فإن الله سبحانه لم يجعل لمطلع 

الهلال حسابامستقيما بل لا يمكن أن يكون إلى رؤيته طريق 

مطرد إلا الرؤية

“Tidak ada seorang ahli hisabpun yang memiliki ketetentuan pasti. Bahkan cara apapun yang mereka tempuh, pasti akan ada unsur kesalahan. Karena Allah ta’ala tidaklah menjadikan adanya perhitungan baku untuk munculnya hilal. Bahkan tidak mungkin ada cara untuk bisa melihat hilal, selain dengan melakukan rukyah.”

Ala kulli hal, dalil-dalil dalam Al Quran dan Hadits menunjukkan perintah untuk melihat hilal, bukan sekedar muncul, sehingga jika hilal telah muncul namun belum terlihat tetap belum dianggap masuk awal bulan. Di sisi lain, mafhum umumnya kewajiban pemerintah memfasilitasi ibadah yang sifatnya wajib dan untuk mashlahat umum. Sedangkan kita diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa dan berlebaran bersama pemerintah, dan ini termasuk bentuk taat kepada pemerintah dalam hal ma’ruf.

Adapun perkara metode dan lain-lain  itu ranah dan kompetensi pemerintah, sedangkan acuan masyarakat awam yang non pengambil keputusan, sekedar dari dalil-dalil dzanni saja. Dan jika imam keliru, mereka yang menanggung bukan kita. 

Para ulama mengatakan bahwa jika perbedaan pendapat hasil dari sebuah ijtihad yang memiliki standar ilmiah memadai dalam sudut pandang fiqih Islam, atau dalam istilah fiqih disebut sebagai Al-Masa’il Al-Ijtihadiah As-Saa’igah, maka seseorang dibolehkan mengikuti pendapat lain yang berbeda dengan pendapatnya, walaupun dia menganggap pendapat tersebut lemah, dengan harapan sikap tersebut dapat menghindarinya dari perpecahan dan pertikaian di tengah masyarakat.

Sebagaimana dulu ketika Utsman bin Affan radhiallahu anhu (berdasarkan pandangan ijtihadnya) melakukan shalat di Mina sebanyak empat rakaat (pada shalat yang empat rakaat) Ibnu Masud mengingatkan bahwa dia pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu anhum di Mina sebanyak dua rakaat (shalat empat rakaat di qashar menjadi dua rakaat). 

Namun ketika suatu saat di Mina beliau shalat di belakang Utsman yang melakukan shalat empat rakaat, beliau mengikutinya shalat empat rakaat. Ketika ditanya tentang sikapnya, beliau mengatakan, “Perselisihan itu buruk.” (HR. Abu Daud).

Perkara seperti ini termasuk ujian bagi kita untuk berinteraksi yang baik dan benar terhadap perbedaan pendapat dan kaitannya dalam menjaga kerukunan masyarakat. Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *