Definisi Bahagia
Anak kecil itu sekalipun mereka belum punya banyak ilmu, namun mereka selalu terlihat bahagia.
Kenapa? Karena mereka masih di atas fitrah. Hati mereka masih bersih dari ‘ilah-ilah’ sesembahan dunia, yang kebanyakan orang dewasa terpenjara dengan ini, sedemikian hingga mereka tanpa terasa terkungkung dengan definisi bahagia yang mereka buat sendiri dari ambisi dan keinginannya.
“Saya bahagia kalau sudah begini, atau sudah punya ini dan itu”.
Frase semacam inilah yang membuat dada sempit. Ribuan nikmat dilupa, sedangkan satu derita selalu diungkit-ungkit.
Padahal definisi bahagia itu seharusnya seperti anak-anak kecil yang fitrahnya bertauhid,
“apapun dan bagaimanapun keadaannya, kalau itu membuat semakin dekat dengan Allah maka saya pasti bahagia.”
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya itu tak diukur dengan banyaknya harta, namun kaya yang hakiki itu ada di hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita mungkin merasa tahu yang kita inginkan, namun Allah jauh lebih mengerti yang hambaNya butuhkan.