Agar Tak Salah Memahami Bid’ah
Sebagai seorang mukmin kita pasti sepakat bahwa tak boleh mengada-adakan perkara agama yang tidak ada asalnya dalam agama walaupun dianggap baik, karena hakikat bergama Islam adalah menaati perintah serta larangan Allah dan RasulNya, dan yang melarang hal ini adalah Allah dan RasulNya sendiri. Allah ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy-Syura: 21)
Dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad)
Itulah mengapa Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu berkata,
تركنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وما طئر يقلب جناهيه
في الهواء إلا وهو يذكر لنا علما
“Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami.” (HR. Thabrani)
Pertama, dalam Jami’ Bayan al ‘Ilm li Ibn Abd al Bar, Imam Malik pernah ditanya tentang miqat ihram, maka beliau menjawab,
“Berihramlah dari Dzul Hulaifah sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berihram”.
Ternyata si penanya bersikeras dan berkata, “Aku ingin berihram dari masjid di sisi kuburan itu”. Maka Imam Malik berkata, “Jangan engkau lakukan, aku takut engkau ditimpa fitnah”.
Laki-laki itu berkata, “Fitnah apa, sedangkan aku hanya menambah jarak beberapa mil saja”.
Maka Imam Malik menjawab, “Fitnah apalagi yang lebih besar dibanding engkau melihat dirimu meraih keutamaan yang tidak diketahui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengamalkan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no.1718).
Terdapat pula satu hadits shahih dan sharih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah sering beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Muslim 867)
Larangan berbuat bid’ah dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya bersifat umum dan tidak terdapat takhsis (pengecualian) dalam dalil-dalil yang lain. Bahkan pada asalnya kita paham hadits ini secara terang, bahwa makna ‘kullu’ mencakup makna semua bid’ah tanpa pengecualian. Namun belakangan muncul pendapat bahwa tak setiap ‘kullu’ itu mencakup semua, sebagaimana dalam QS. Al Ahqaf : 25,
تُدَمِّرُ كُلَّ شَىْءٍۭ بِأَمْرِ رَبِّهَا
Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya ..
Sebagian orang mengatakan seandainya ‘kullu’ itu umum maka berarti langit dan bumi hancur, ternyata angin tersebut hanya menghancurkan rumah saja. Maka kita katakan, betul ‘kullu’ di sini menghancurkan apa saja yang hancur namun ia diikat dengan jar majrur setelahnya, ‘bi amri rabbiha’ yang mutaaliq dengan ‘tudhammir’. Maka ‘kullu’ tak bisa dikatakan sebagian secara mutlak melainkan ia terikat dengan kalimat setelahnya. Sehingga ‘kullu bidatin dalam hadits tetap berfaedah secara umum.
Ketiga, sebagian orang mengangkat peristiwa shalat tarawih di masa khalifah Umar bin Khattab untuk mencari pembenaran bahwa tak semua bid’ah dhalalah. Ketika itu orang-orang berkumpul di masjid namun mereka shalat tarawih sendiri, dan di masa Umar radhiyallahu’anhu lah shalat tarawih dilaksanakan berjamaah kembali, kemudian umar mengatakan “ni’matul bidah hadihi”, “sebaik-baik bid’ah, ini”.
Maka perlu kita perhatikan pada kasus mengumpulkan shalat tarawih, bahwa yang dimaksud Umar adalah bi ma’na lughawiyah, secara bahasa, yang awalnya lama tak dilakukan kemudian dilakukan kembali. Karena shalat tarawih asal usulnya berjamaah, namun Nabi khawatir ini diwajibkan sehingga setelah itu keadaannya menjadi tidak berjamaah, sehingga sejatinya ini dulu pernah dicontohkan oleh Nabi.
Di sisi lain, ada begitu banyak dalil umum tentang shalat tarawih berjamaah, sehingga tak mungkin ini dibawa kepada bid’ah secara istilah karena bertentangan dengan definisi yang ada. Sehingga ‘kullu bid’atin’ tetap berada pada kaidah asal, ia bermakna umum.
Keempat, sebagian orang mengangkat kasus pemberian harakat pada Al Quran, pemberlakuan adzan pertama shalat jumat, dan beberapa contoh semisal untuk seakan membuktikan bahwa ini semua bid’ah yang baik, padahal para ulama telah mengatakan ini bukan bid’ah melainkan mashlahat mursalah. Maka perlu bagi kita untuk bisa membedakan antara keduanya.
Terdapat kesamaan antara bid’ah dan mashlahat mursalah, yakni keduanya belum pernah terjadi pada masa nabi serta luput dari dalil yang spesifik. Namun perbedaannya, bid’ah memiliki faktor pendorong untuk bisa dilakukan di jaman Nabi namun tak pernah dilakukan Nabi dan para sahabat. Sedangkan mashlahat murshalah, ia tak ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya, atau seandainya bisa dilakukan, ada faktor penghalangnya.
Bid’ah tak terjadi kecuali dalam hal yang sifatnya ibadah (ta’abbudiyyah). Berbeda dengan mashlahat mursalah, ia dipahami oleh akal tujuannya, ia pun tidak ada hubungannya dengan ta’abbud (masalah yang sifatnya ibadah) atau dengan hal yang sejalan dengan ta’abud dalam syariat.
Bid’ah juga merupakan sesuatu yang dimaksud sejak awal oleh pelakunya. Umumnya mereka taqarrub kepada Allah dengan mengamalkan bid’ah itu dan tidak berpaling darinya. Sangat jauh kemungkinan bagi mereka untuk menghilangkan amalannya. Sedangkan mashlahat mursalah, ia tak menjadi maksud utama dan sekedar sarana pendukung (wasa’il). Mashlahat mursalah pun bisa gugur jika berhadapan dengan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.
Bid’ah keberadaannya akan memberatkan mukallaf (orang yang dibebani syariat), ia juga akan bertentangan dengan maqashid syariah. Sedangkan mashlahat murshalah justru mendukung maqashid syariah, mendatangkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan.
Ala kulli hal, inilah talbis iblis yang begitu berbahaya dan sering menjangkiti ahli ibadah sepeninggal Nabi, semangat beribadah sehingga menambah-nambah perkara baru dan justru keluar dari jalurnya. Maka perlu kita memperhatikan satu kaidah penting dari Abdullah Ibnu Umar bahwa,
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah itu kesesatan meskipun manusia menganggap itu kebaikan.”
Begitu sempurnanya syariat Islam sepeninggal Rasulullah, sehingga penambahan atau pengurangan atas syariat islam tanpa dalil justru malah seakan menuduh ada syariat yang belum disampaikan Nabi. Allahul musta’an.