Berdebat Untuk Mencari Kebenaran, Bukan Pembenaran
Terdapat satu hal menarik dalam Thabaqat Syafi’iyah yang kata pengantarnya diisi syaikh Mansyur bin Hasan, yakni dialog antara Imam Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam dan Imam Syafi’i tentang makna القرء.
Awalnya Imam Syafi’i berpendapat ia bermakna ‘haidh’, dan Abu Ubaid mengatakan maknanya ‘suci dari haidh’. Setelah saling memaparkan argumen dan masing-masing berpisah, ternyata keduanya malah terpengaruh dengan argumen kawan debatnya, sehingga Imam Syafi’i berubah pendapat menjadi menjadi ‘suci dari haidh’ sedangkan Abu Ubaid berubah menjadi ‘haidh’.
Begitulah kejernihan hati para ulama. Tujuan dialog dan debatnya adalah mencari kebenaran bukan mencari kemenangan.
Dalam kasus lain, Manaqib Asy Syafii Al Baihaqi pernah disebutkan, terdapat dua penuntut ilmu yang belajar kepada Imam Al-A’masy, dan beliau marah kepada salah satu dari mereka. Maka yang satunya berkata kepada temannya: “Jika aku yang dimarahi seperti itu maka aku tak mau lagi belajar kepadanya”.
Mendengar hal tersebut maka Imam al-A’masy mengatakan,
إذن هو أحمق مثلك، يترك ما ينفعه لسوء خلقي
“Berarti dia bodoh sepertimu. Dia meninggalkan sesuatu yang bermanfaat baginya (ilmu) hanya gara-gara sifatku yang buruk (kemarahanku).”
Gegara nila setitik, seharusnya tak perlu rusak susu sebelanga. Di antara ketinggian ilmu seseorang adalah ketika mendapati suatu kasus, ia tak serta merta reaktif. Ia menyampingkan ego sehingga tashawurnya jernih dan dalam, analisisnya panjang, ia pun merinci dan tak gebyah uyah, tak memukul rata sebuah persoalan.
Satu contoh kasus gebyah uyah, teringat pembahasan ayat taghut yang kesimpulannya mengherankan, mereka pukul rata semua yang di parlemen kafir, bahkan yang lewat gedung parlemen pun divonis kafir sebab mendiamkan.
Padahal para ulama telah merincinya. Misalnya, pembuat undang-undang, ketika ia meyakini bolehnya membuat hukum selain hukum Allah, atau meyakini hukumnya lebih baik daripada hukum Allah, maka ini perbuatan kekufuran. Namun jika tujuannya meminimalkan kemungkaran justru ia diharapkan berpahala, dan seterusnya. Dan seandainya kufur pun tak bisa langsung ditakyin sebelum syaratnya terpenuhi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,
كلّما رأوهم قالوا: من قال كذا فهو كفر اعتقد المستمع أنّ هذا اللفظ شامل لكلّ من قاله ولم يتدبّروا أنّ التكفير له شروط وموانع قد تنتقي في حقّ المعيّن وأنّ تكفير المطلق لا يستلزم تكفير المعين إلاّ إذا وجدت الشروط وانتفت الموانع يبيّن هذا أنّ الإمام أحمد وعامّة الأئمّة: الذين أطلقوا هذه العمومات لم يكفروا أكثر من تكلم بهذا الكلام بعينه.
“Setiap ada ucapan ‘siapa yang mengatakan begini dan begitu, berarti dia telah kafir’, yang mendengar menyangka bahwa vonis itu mencakup siapa saja yang mengatakan itu. Mereka tak paham bahwa vonis kafir memiliki syarat dan penghalang tertentu, yang bisa jadi tidak terpenuhi pada individu tertentu. Mereka juga tak paham bahwa pengkafiran mutlak tidaklah berarti takfir muayyan, tanpa memperhatikan terpenuhinya syarat dan penghalang pada individu yang hendak divonis itu.
Lihatlah bagaimana Imam Ahmad dan para imam kaum muslimin lain, mereka menyatakan berbagai vonis pengkafiran mutlak atas perbuatan dan perkataan tertentu namun pada prakteknya mereka tidak memvonis kafir mayoritas individu yang melakukan atau mengatakannya.”
Dalam kasus lain misalnya, persoalan hajr atau boikot produk, lihatlah ketelitian para ulama dalam merincinya. Syaikh Sulaiman Ar Ruhaily mengatakan,
الأول : مقاطعة لشركات يملكها مسلمون ويعمل فيها مسلمون ولا تدعم الصهاينة وضرر المقاطعة كله أو جله يعود على المسلمين ولو كانت الشركة الأم يملكها كفار ، فهذه المقاطعة ليس فيها مصلحة للمسلمين وإنما فيها إضعاف اقتصاد المسلمين
والثاني : مقاطعة لمنتجات شركات يملكها كفار وتدعم الصهاينة أو لمنتجات من دول تدعم الصهاينة فهذه إذا أراد الفرد مقاطعتها فله ذلك وذلك خير يؤجر عليه واسأل الله أن تكون فيه فائدة
أما إلزام الناس وتجريم من لم يقاطع وتحريم البيع والشراء فليس ذلك للأفراد بل يرجع فيه إلى ولاة الأمر من العلماء والحكام فهو من الأحكام الشرعية ومن المصالح العامة التي مردها إليهم
“Pertama, memboikot perusahaan dan produk milik kaum muslimin namun induk perusahaannya orang kafir yang tidak membantu zionis dan yahudi, pekerjanya pun ummat muslim, dan kerugian boikotnya kembali kepada kaum muslimin. Maka yang seperti ini tak perlu diboikot.
Kedua, memboikot perusahaan dan produk milik orang kafir yang membantu zionis dan yahudi, maka ini baik dan insyaa Allah berpahala.
Adapun memaksa orang lain untuk memboikot maka ini bukan ranah individu tertentu melainkan tanggung jawab pemerintah dan ulama setempat.”
Ala kulli hal, begitulah fokus kebanyakan muslim saat ini, ia merasa menjadi hebat dengan debat sehingga tanpa sadar justru dirinya semakin Allah jauhkan dari ilmu dan malah dekat dengan nafsu. Maka cobalah dalam setiap kasus untuk menahan diri dan tidak selalu reaktif. Ibarat sebuah insiden lalu lintas karena pengendara ugal-ugalan, orang yang bersumbu pendek akan segera menyalahkan si pengendara dan enggan menolongnya, sebagian besar bahkan melihat dan memvideokan hingga membuat macet lalu lintas. Namun tidak bagi yang berilmu, visinya jauh ke depan. Ia akan tolong terlebih dahulu si pengendara, ada pula yang berperan mengkondisikan agar tidak macet, sampai ada waktunya nasehat kebaikan itu disampaikan sehingga terjadilah perbaikan.
Terdapat kalimat indah yang dilontarkan Syaikh Masyhur bin Hasan,
أكثروا من المسائل، ولا تكثروا من المشاكل
“Perbanyak ilmu, jangan banyak berseteru.”