Tak Perlu Membakar Selimut Baru Hanya Karena Seekor Kutu
Terdapat satu hadits tentang larangan membuat acara sebelum shalat jum’at,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ التَّحَلُّقِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ فِى الْمَسْجِدِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengadakan kajian di hari jumat, sebelum jumatan. Dan beliau melarang jual beli di masjid.” (HR. Nasai 722)
Para ulama, termasuk Al Khatabi, memaknai hadits ini bahwa larangannya terkait dengan acara yang berpotensi mengganggu jumatan. Beliau mengatakan,
إنما كره الاجتماع قبل الصلاة للعلم والمذاكرة، وأمر أن يشتغل بالصلاة، وينصت للخطبة والذكر، فإذا فرغ منها كان الاجتماع والتحلق بعد ذلك
“Beliau tidak menyukai berkumpul untuk kajian sebelum jumatan, serta memeritahkan untuk fokus terhadap jumatan, diam mendengarkan khutbah. Jika selesai jumatan, maka boleh berkumpul dan halaqah setelahnya.”
Namun uniknya, dalam Talbis Iblis Ibnul Jauzi disebutkan bahwa sebelumnya Al Khathabi pernah salah memaknai hadits ini. Beliau membacanya dengan mensukun huruf lam (الحلق) sehingga maknanya menjadi ‘mencukur’, sedangkan seharusnya adalah ‘halaqah’. Dan 40 tahun lamanya beliau berada dalam kekeliruan ini.
Dalam karya Ibnul Jauzi yang lain, Al Muntazham, beliau menyebutkan seorang ulama besar yang hampir pasti Anda kenal, Hatim Al Asham. Al asham adalah kunyah beliau yang bermakna tuli. Konon dulu ada wanita yang bertanya kepadanya dan tidak sengaja (maaf) kentut dan bersuara. Maka demi menjaga perasaannya, Hatim berpura-pura tak mendengar dan mengatakan, “Keraskanlah suaramu.” Sedemikian hingga si wanita itu pun merasa tenang karena menduga Hatim tidak mendengar kentutnya. Dan setelah itu Hatim menjadi tuli dan digelari Al Asham.
Ada pelajaran penting dari dua kisah ini. Bahwa pertama, ijtihad tetaplah ijtihad, setinggi apapun kelas seorang ulama tetaplah ia bukan Nabi yang maksum dan berpotensi punya kesalahan. Maka kedua, penting bagi seorang mukmin memiliki sifat taghaful yang notabene lawan dari tajassus dan tahassus. Dalam Mu’jam Al Wasith disebutkan,
تغافل أرى من نفسه أنه غافل وليس به غفلة
“Taghafal bermakna terlihat seolah-olah dirinya tidak tahu, padahal tahu”.
Maksudnya pura-pura tidak tahu dalam artian positif. Yakni tak mencari-cari kesalahan, memaafkan dan melupakan kesalahan lalu, serta berusaha memaklumi kesalahan orang awam, jahil, apatah lagi anak kecil.
Ibnu Azraq rahimahullah mengatakan,
إن من السخاء والكرم ترك التجني، وترك البحث عن باطن الغيوب، والإمساك عن ذكر العيوب، كما أن من تمام الفضائل الصفح عن التوبيخ، وإكرام الكريم والبشر فب اللقاء ورد التحية، والتغافل عن خطأ الجاهل
“Bentuk kedermawanan dan murah hati adalah dengan tak mudah menuduh, tak mencari-cari kesalahan minor, menanan diri dari menyebutkan aib. Begitu pula bentuk kesempurnaan akhlak adalah dengan berpaling dari para pencela, memuliakan orang yang mulia, berwajah manis ketika bertemu orang, suka membalas penghormatan, dan memaklumi kesalahan orang jahil.”
Para ulama banyak yang berbeda pendapat dengan kelompok di Ghozzah, namun mereka tetap menaruh Al wala wal bara’ kepada mereka karena lawannya adalah kafir harbi. Bisa jadi pula fatwa haram produk tertentu kurang pas karena tak boleh mengharamkan yang halal dan sebaliknya, kurang pas pula sekalipun berpijak pada fiqhul waqi’, namun dalam kondisi tertentu ada prioritas yang harus ditempuh sebagaimana dulu boikot yang dilakukan Tsumamah kepada kafir Quraisy dalam hadits Bukhari 4372 dan Muslim 1764, dengan tegas beliau katakan,
وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Demi Allah, engkau tidak akan mendapatkan gandum dari Yamamah (sampai kepada kaum Quraisy), kecuali diizinkan masuk oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Ingatlah bahwa Ibnu Taimiyah dulu mengkritik namun beliau tetap ikut berjihad dalam perang mongol. Bahkan di antara perkataan beliau,
فأما إذا هَجَم العدو فلا يبقى للخلاف وجهٌ فإنّ دفع ضررهم عن الدين والنفس والحرمة واجبٌ إجماعًا.
Adapun jika musuh menyerang, maka tidak tersisa alasan untuk berselisih paham, karena menolak bahaya musuh untuk agama, nyawa, dan kehormatan, hukumnya wajib secara Ijma.”
الفتاوى الكبرى ( 4/608)
Begitulah kita harus mengasah sifat taghaful agar mengerti prioritas, sehingga bisa memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Inilah yang dicontohkan Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فِي الشَّمْسِ فَسَأَلَ عَنْهُ قَالُوا هَذَا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ قَالَ مُرُوهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, tetiba ada lelaki berdiri di bawah terik matahari. Kemudian beliau bertanya. Mereka berkata, ia Abu Israil, ia bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak bernaung, tidak berbicara, dan berpuasa. Rasulullan berkata: “Perintahkan dia agar berbicara, bernaung, duduk dan menyempurnakan puasanya!” (HR. Abu Dawud 2870)
Dalam kasus ini terdapat perkara sunnah dan hal yang tak disyariatkan tercampur. Mendengarkan khutbah dan puasa merupakan bagian dari syariat, sedangkan berdiri, di terik matahari dan di luar masjid bukan bagian dari syariat sekalipun niatnya baik.
Maka perhatikanlah apa yang dilakukan Nabi, membersihkan bentuk bid’ah dan maksiatnya, kemudian membiarkan perkara yang disyariatkan, yakni mendengarkan khtubah dan puasa. Itulah prioritas, jika telah mengenalnya maka ia tak akan mencampur adukkan antara yang haq dan bathil, tak pula ia harus menghapus semuanya. Tak perlu membakar selimut baru hanya karena seekor kutu. Allahul musta’an.