Beratnya Ikhlas

Bagaimana bisa manusia berbangga dengan ibadahnya, sedangkan amalnya belum tentu diterima. Sungguh seorang hamba seharusnya menaruh perhatian lebih terhadap keikhlasannya. Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Majmu’ Rasail pernah mengatakan, 

رائحة الإخلاص كرائحة البخور الخالص ، كلَّما قوي ستره بالثياب فاح وعبق بها .

“Wanginya keikhlasan bagaikan wanginya gaharu yang murni. Semakin ditutupi baju semakin semerbak.”

‏ورائحة الرياء كدخان الحطب ، يعلو إلى الجو ثم يضمحل وتبقى رائحته الكريهة

“Sedangkan baunya riya bagaikan asap kayu bakar. Ia membumbung tinggi awalnya lalu melemah dan tersisa baunya yang tak sedap.”

Sedangkan Ibnul Qayyim dalam Thariqul Hijratain, beliau berkata,

فإن الله إذا أراد بعبد خيراً سلبه رؤية أعماله الحسنة من قلبه والإخبار بها من لسانه ، 

“Sungguh jika Allah menginginkan kebaikan seorang hamba, dijadikan hatinya tak mengingat amal amal kebaikannya, dan dijadikan lisannya tak ingin mengabarkan amalnya kepada manusia.”

وشغله برؤية ذنبه ، فلا يزال نصب عينيه حتى يدخل الجنة ، فإن ما تقبل من الأعمال رفع من القلب رؤيته ومن اللسان ذكره . 

“Allah jadikan ia sibuk mengingat dosa dosanya. Senantiasa dosa itu berada di pelupuk matanya hingga ia masuk surga. Karena tanda amal diterima itu adalah menjadikan hati tak mengingatnya dan lisan tak mengabarkannya.”

Maka inilah pentingnya niat, pentingnya amalan hati, pentingnya tauhid. Saking pentingnya Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik”. 

Sungguh ikhlas itu berat. Tak akan bisa didapat kecuali dengan usaha yang terus menerus dan bersungguh-sungguh. Maka latihlah keikhlasan kita dengan memperbanyak amal rahasia, jangan ingin dilihat orang, buang rasa senang dipuji dan rasa benci dicaci, alihkan supaya dipuji Allah, jangan ingin dihargai, dan harus sadar bahwa amalan kita itu adalah ujian, kita hanya perantara. Allahul musta’an.