Kokohnya Imam Syafi’i Dalam Berpegang Kepada Sunnah
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”
Kita mengenal Imam Syafi’i bukanlah orang yang mudah melegalkan bid’ah. Justru dengan kalimat ini kita bisa paham bahwa yang setip perkataan beliau tentang bid’ah hasanah maksudnya adalah bid’ah secara bahasa, bukan secara istilah seperti dalam hadits-hadits Nabi.
Dulu Ar Rabie’, murid Imam Syafi’i pernah menceritakan, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian setelah dijawab orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أي سماء تظلني وأي أرض تقلني إذا رويت عن رسول الله وقلت بغيره
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain?!.”
Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, maka tak mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’i, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka hadits ini sejatinya mendorong kita bekerja keras agar tetap bisa adil dengan dua elemen dasar, yakni ikhlas dan ittiba’. Karena setiap orang memiliki potensi untuk terjebak dalam kecondongan kepada dua kutub ekstrim, memaksa dan memoles bid’ah sehingga tak terkesan bid’ah atau memastikan satu hal sebagai bid’ah sedangkan bisa jadi sama sekali bukan bid’ah. Allahul musta’an