Aqidah

Allah Berbeda Dengan MakhlukNya

Dalam sebuah undangan, umumnya selalu tertulis “mohon maaf jika ada kesalahan nama dan atau gelar”. Ini menunjukkan satu bentuk penghormatan, bahwa tak boleh menyebut nama sembarangan. Ini sekedar contoh kecil penghormatan terhadap makhluk, maka apatah lagi penamaan bagi sang Khalik, Allah.

Dulu pernah terjadi kasus makam seorang kiyai yang ambles, ketika santrinya diwawancarai ia diam dan tak berani berkomentar, karena ia tak tahu detail dan inilah bentuk penghormatan kepada sang kiyai.

Maka begitulah sikap yang diterapkan para salafush shalih terdahulu. Imam Malik pernah ditanya tentang kaifiyat istiwa’nya Allah. Sebuah atsar dalam Al Uluw lil Aliyil Ghafar, diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,

جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” 

قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك

Dikatakan, Aku tak pernah melihat Imam Malik semarah itu sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam. Setelah kecemasan beliau pudar, maka beliau berkata,

وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا

“Hakekat istiwa’ tak mungkin digambarkan, dan istiwa’ Allah sudah tak asing lagi maknanya, dan beriman terhadap sifat istiwa’ adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.”

وأمر به فأخرج

Maka orang itupun diperintahkan untuk keluar dari majelis beliau. 

Orang tersebut dikeluarkan karena begitu lancangnya mempertanyakan hakikat istiwa’, maka apatah lagi kelancangan orang yang berani mentakwilnya, menta’til, mentamtsilnya dengan ilmu filsafat atau apapun. Dan tidaklah itu terjadi karena mereka telah lancang membayangkan sebelumnya. Sedangkan firman Allah,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11).

Ilmu filsafat Plato, dan seterusnya, itu telah ada sejak zaman sebelum Nabi. Dan ternyata Nabi dan para sahabat tak menyentuhnya sama sekali. Para ulama berkata,

لو كان خيرا لسبقونا إليه.

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka sudah mendahului kita untuk melakukannya”.

Maka benar perkataan Syaikh Ahmad Al Abdul Lathif,

في الواقع أن العلوم الكلامية والفلسفية بهرج من القول دون تأصيل صحيح وانتهاء أمرها الحيرة والاضطراب

“Kenyataannya ilmu Kalam dan Filsafat hanyalah bahraj (retorika) perkataan belaka tanpa pendasaran yang benar. Ujung-ujungnya pun keraguan dan kebimbangan.”

Imam as Syafi’i mengatakan,

القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, begitu juga seperti Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami berikrar dengan bersaksi bahwa tak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” 

Dan Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah di atas ‘ArsyNya yang berada di atas langitNya, walaupun begitu Allah dekat dengan makhlukNya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendakNya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa i’tiqad lainnya.

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, 

الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان

“Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘ArsyNya, terpisah dari makhlukNya, sedangkan kemampuan dan ilmuNya di setiap tempat?” 

قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان

Beliau menjawab, “Benar. Allah di atas ‘ArsyNya, dan setiap tempat tak luput dari ilmuNya.”

Bahkan Imam Abu Hanifah tegas mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

“Barangsiapa mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”

Perlu kita ingat bahwa nama tak melazimi hakekat. Nama bisa sama, namun hakekat beda. Kaki misalnya : sama-sama kaki namun kaki manusia berbeda jauh dengan kaki meja. Ini analogi sesama makhluk saja sudah beda.

Akal manusia didesain Allah memiliki keterbatasan. Ia hanya bisa memvisualisasikan apa yang pernah ia lihat, atau menggambarkan yang semisal dengan apa yang pernah ia lihat. Ketika seseorang belum pernah melihat mobil misalnya kemudian ia buta, dan mendapatkan penjelasan bahwa mobil itu fungsinya seperti kuda, namun ia dari besi, maka penjelasan sedetail apapun rasanya hampir pasti yang ia bayangkan akan berbeda dengan kenyataannya. Inilah keterbatasan akal.

Di sisi lain kita juga harus bisa membedakan, antara ‘bertentangan dengan akal’, dengan ‘tidak bisa dijangkau akal’. Bertentangan dengan akal, sampai kapanpun ia tak akan masuk akal. Misalnya, 1+3 = 10, atau 1 dalam 3 dan 3 dalam 1, ini bertentangan dengan akal. 

Berbeda dengan tak bisa dijangkau akal, ia tetap linear dan sejalan dengan akal hanya saja akalnya belum sampai. Misalnya, pesawat terbang, dulu orang mengatakan tak mungkin besi bisa terbang karena akal mereka tak bisa menjangkau, namun ketika ilmu itu Allah buka untuk manusia maka kemudian hal tersebut menjadi masuk akal.

Maka Info tentang Allah seyogyanya kita imani sesuai dengan batasnya, janganlah memaksakan akal untuk menjangkaunya apatah lagi divisualisasikan. Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura : 11)

Efek visualisasi terhadap sifat Allah, ia akan menjurus kepada dua hal. Pertama, tamtsil, menyerupakan Allah dengan perbuatan makhluk, maka ini haram. Kedua, ta’til, yaitu menolak penetapan yang telah Allah tetapkan karena ia tak mengerti hakikatnya, maka ini juga haram.

Maka ingatlah bahwa Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy namun bukan berarti menyerupakan Allah dengan makhluk. Jangan seperti mu’tazilah dan jahmiyah, mereka menuduh setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah yang Allah sendiri yang menetapkan sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka juga menuduh imam yang empat.

Metode ahlus sunnah adalah menetapkan sifat allah berdasarkan Al Quran dan As Sunnah serta ijma’. Mereka menetapkan Allah di atas ‘Arsy dan mereka yakin bahwa Allah beristiwa’ di atas ‘ArsyNya. Tanpa takyif (menyatakan hakekat sifat), tamtsil (memisalkannya dengan makhluk), tasybih (menyerupakannya dengan makhluk), apalagi mentakwilnya. Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *