Fikih

Hukum Hadiah Bagi Pegawai

Satu hal pelik yang paling mudah berpotensi ada pelanggaran syariat adalah soal pekerjaan, karena ia bersinggungan langsung dengan perkara muamalah.

Pekerjaan yang di dalamnya ada ikhtilat atau campur baur lelaki dan wanita yang kelewat batas, sangat bisa dengan signifikan mengurangi keberkahan gaji dan rizki yang akan diterima. Maka apatah lagi pekerjaan yang di dalamnya terdapat pelanggaran syariat yang lebih besar semisal suap, pelicin, hadiah terselubung, dan sebagainya. Maka sudah seyogyanya kita berhati-hati akan hal ini.

Secara asal Islam menganjurkan untuk saling memberi hadiah agar mempererat hubungan kasih sayang terutama sesama muslim. Sabda Nabi dalam adabul mufradnya Imam Bukhari,

وتهادوا تحابوا

Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.

Namun ada tiga kondisi yang membuat anjuran ini justru berbalik menjadi larangan. Pertama, hadiah untuk mendukung keburukan. 

Kedua, hadiah yang diberikan karena merasa takut terhadap gangguan seseorang atau kelompok tertentu. Dalam kondisi ini, hanya penerimanya yang berdosa.

Ketiga, hadayal ummal, atau hadiah kepada pekerja atau pejabat. Terdapat hadits, dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).

Terkait ini, ada parameter yang diwasiatkan Nabi untuk kita pegang, apakah hadiahnya menjadi boleh atau terlarang. Yaitu ketika hadiah tersebut diberikan kepada seorang pekerja atau pejabat tertentu, bayangkan seandainya ia tak punya jabatan tersebut, apakah si pemberi hadiah ini akan tetap memberikan hadiahnya?. Jika iya, maka itu hadiah, namun jika jawabannya tidak, maka itu termasuk ghulul yang terlarang.

Parameter ini tercantum dalam redaksi yang cukup panjang pada Shahihain, dua kitab hadits Bukhari dan Muslim. Lafazh dari Bukhari,

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan,

Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,

مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ

Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.

ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali).

Sedemikian hingga, jika ia termasuk ghulul, maka Allahu a’lam ia haram bagi penerimanya saja, sedangkan dzatnya tetap halal. Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *