Fikih,  Tazkiyah

Berkaca Kepada Para Salaf Dalam Ilmu

Terdapat tanggapan seorang kyai atas kritikan seorang ustadz bergelar doktor, akan adanya imsak sebelum adzan karena berpotensi menjadi kebid’ahan, dengan dibumbui asumsi bernada ujub, bahwa yang berpendapat begini karena kurang baca kitab. 

Ia mengira ini hanya karena pendapat seorang syaikh di era kontemporer. Padahal dahulu Ibnu Hajar pun pernah membahas ini, 

من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان وإطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك إلا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا لا يؤذنون إلا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فأخروا الفطر وعجلوا السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان..

“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang dibuat pada zaman ini. Yaitu diberlakukannya adzan kedua sebelum terbitnya fajar dengan perkiraan waktu 20 menit di bulan ramadhan dan mematikan pencahayaan lampu-lampu (lentera) yang dijadikan sebagai tanda akan haramnya makan dan minum untuk orang yang hendak berpuasa dengan klaim mereka untuk menjaga-jaga di dalam ibadah..”

Jadi, siapa yang sebenarnya kurang baca kitab?. Kita tahu ada tiga tahapan ilmu. Tahap pertama ia akan kibr, sombong seperti tomat hijau di tengah tomat-tomat merah, ia merasa paling beda dan benar padahal hanya dia sendirian yang belum matang. Tahap kedua, rasa tawadhu’ akan muncul. Dan tahap ketiga, ia sadar bahwa ilmunya hanya secuil.

Sayangnya, kebanyakan orang terlena dan tertahan di tahap pertama. Sehingga ia lebih sibuk menyalahkan dan menvonis. Maka hanya orang yang diberi taufiq Allah yang bisa ke tahap kedua, hingga ia tawadhu’, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, mengetahui mana perbedaan pendapat yang dapat ditolerir dan tidak.

Pun tahap ketiga, ini maqam para ulama yang kokoh keilmuannya, tajam dan panjang bashirahnya, pandangannya jauh ke depan, mereka tak hanya sekedar meluruskan yang salah melainkan juga mencegah potensi kesalahan. Merekalah ulama-ulama rabbani, lentera di tengah gelapnya ilmu dan suramnya taklid buta.

Terdapat satu hal menarik dalam Thabaqat Syafi’iyah yang kata pengantarnya diisi syaikh Mansyur bin Hasan, yakni dialog antara Imam Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam dan Imam Syafi’i tentang makna القرء. 

Awalnya Imam Syafi’i berpendapat ia bermakna ‘haidh’, dan Abu Ubaid mengatakan maknanya ‘suci dari haidh’. Setelah saling memaparkan argumen dan masing-masing berpisah, ternyata keduanya malah terpengaruh dengan argumen kawan debatnya, sehingga Imam Syafi’i berubah pendapat menjadi menjadi ‘suci dari haidh’ sedangkan Abu Ubaid berubah menjadi ‘haidh’.

Begitulah seharusnya kejernihan hati para ulama. Tujuan dialog dan debatnya adalah mencari kebenaran bukan mencari kemenangan. Maka lihatlah para salaf, mari berkaca pada mereka, cek kembali niat kita, karena ilmu yang membuahkan ujub itu sejatinya belum menjadi ilmu. Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *