Fikih

Amalan Wajib Lebih Utama Daripada Amalan Sunnah

Ketika datang shalat Jumat bertepatan dengan adzan. Sebagian kita berdiri menunggu adzan, menjawabnya, kemudian shalat sunnah tahiyatal masjid baru duduk. Namun ternyata bersegera shalat sunnah lebih dianjurkan dibanding berdiri dan menjawab adzan terlebih dahulu, dengan tujuan agar kita bisa mendapati khutbah sejak awal.

Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang pernah dibawakan As Suyuthi,

الفرض أفضل من النفل

“Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.”

Diam dan mendengarkan khutbah lebih utama dan wajib. Sedangkan menjawab adzan jumhur pendapat mengatakan hanya sampai mustahab. Sedemikian hingga sebagaimana kaidah ushul fiqh tadi, bahwa bersegera mendengarkan khutbah (wajib) lebih utama dibanding mendengarkan adzan (sunnah).

Pertama, diam dan mendengarkan khutbah lebih utama dan wajib. Di antara dalilnya,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا

“Apabila dibacakan Al Quran, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-A’raf: 204)

Said bin Jubair menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang perintah diam ketika khutbah idul adha, idul fitri, khuutbah jumat, dan ketika shalat jamaah yang bacaan imam dikeraskan.

Begitu pula hadits,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ . يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika kamu mengatakan ‘Diam’ kepada temanmu, pada hari jumat, sementara imam sedang berkhutbah, berarti engkau melakukan lagha. (HR. Bukhari 943, Muslim 2002, dll)

Mengatakan ‘diam’ kepada yang berisik saja bisa termasuk lagha. Sedangkan lagha adalah ucapan bathil yang seharusnya tak dilakukan. Dalam hadits peringatan lagha ini cukup keras,

…و من لغا أو تخطى كانت له ظهرا…

“dan siapa yang melakukan lagha atau melangkahi pundak jamaah, maka dia hanya mendapat pahala shalat zuhur. (HR. Ibnu Khuzaimah 1810).

Dalam riwayat lain,

ومن تكلم فلا جمعة لَهُ

“Siapa yang berbicara maka tidak ada pahala jumatan baginya. (HR. Ahmad 719).

Begitupun dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya diam dan mendengarkan khutbah. Bahkan jika seandainya makmum tak bisa mendengar isi khutbah, atau bahasanya tak dimengerti, makmum tetap diwajibkan untuk diam. Terdapat nasehat Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, dalam salah satu khutbah beliau,

إِذَا قَامَ الإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَاسْتَمِعُوا ، وَأَنْصِتُوا ، فَإِنَّ لِلْمُنْصِتِ الَّذِي لا يَسْمَعُ الْخُطْبَةَ مِثْلُ مَا لِلسَّامِعِ الْمُنْصِتِ

“Apabila imam berkhutbah di hari jumat, perhatikan dan diam. Karena orang yang diam, yang tidak mendengarkan khutbah mendapatkan pahala seperti yang diperoleh orang yang mendengar khutbah dan diam. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro, Bab al-Inshat lil Khutbah, 3/220).

Kedua, menjawab adzan, terdapat ikhtilaf tentang hukumnya, namun jumhur pendapat mengatakan mustahab tidak sampai wajib. Dalam Al Mughni terdapat kutipan Imam Ahmad,

وإن دخل المسجد فسمع المؤذن استحب له انتظاره ليفرغ، ويقول مثل ما يقول جمعا بين الفضيلتين. وإن لم يقل كقوله وافتتح الصلاة، فلا بأس. نص عليه أحمد

“Jika orang masuk masjid dan mendengarkan adzan, dianjurkan untuk menunggu sampai selesai adzan, dan mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin, sehingga dia mendapatkan dua keutamaan. Dan jika dia tidak menjawab adzan dan langsung memulai shalat (tahiyatul masjid), tidak masalah. Demikian yang ditegaskan Imam Ahmad. (al-Mughni, 1/311).

Kasus dan kaidah ushul fiqh ini mengajarkan kita untuk bisa lebih peka, agar bisa mengerti skala prioritas dan tak terjebak dengan amalan yang kurang utama. Karena di antara talbis iblis yang paling banyak menggelincirkan manusia adalah memutar balikkan prioritas. Begitu banyak orang fokus pada amalan yang kurang utama sehingga justru melalaikan yang wajib.

Sebagian kita fokus menuntut ilmu yang sunnah sampai meninggalkan kewajiban mencari nafkah. Lebih senang berkomunikasi dengan teman dibanding kerabatnya. Berpuasa namun justru melalaikan shalat lima waktunya.

Sebagian pula berlebihan dalam shalat malam sehingga shalat shubuhnya kurang baik. Begitu pula ada yang lebih mudah membenci orang yang berbeda pandangan fiqh yang tanawwu’, dan pada saat yang sama justru bertoleransi dengan budaya sesajen yang sangat dekat dengan kesyirikan. Dan banyak contoh lainnya. 

Dulu Ibnu Hajar pernah mengatakan,

من شغله الفرض عن النفل فهو معذور ومن شغله النفل عن الفرض فهو مغرور.

“Siapa tersibukkan dengan yang wajib dari yang sunnah dialah orang yang bisa diberi udzur. Sedangkan siapa yang tersibukkan dengan yang sunnah sehingga melalaikan yang wajib, maka dialah orang yang tertipu.” (Fath Al-Bari, 11: 343)

Maka kita berlindung kepada Allah, sembari terus belajar agar tak terjebak dengan skala prioritas yang terbalik. Karena waktu kita terbatas, tenaga kita pun sangat terbatas. Wallahul muwafiq. Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *