Apa Sih Yang Kita Cari?
Terkadang manusia bisa terjebak dalam kebanggaan terhadap pencapaian, apatah lagi bangga dalam pencapaian kemaksiatan. Sedangkan jika kita flashback 10 atau 20 tahun lalu, dengan kacamata yang lebih luas dan menanggalkan segala bentuk tinggi hati, sejatinya kita hanya beputar di sekitaran itu saja.
Kita melakukan rutinitas dengan tujuan jangka pendek, dan begitu tercapai, mencari tujuan baru lagi seakan tak ada putusnya. Aneh bukan? Sebenarnya apa sih yang kita cari?.
Maka benar apa yang telah digariskan. Allah berfirman,
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلً
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.
Allah firmankan ‘yang lebih baik amalnya’, bukan ‘yang lebih banyak amalnya’. Ini sebuah kisi-kisi, bahwa rutinitas kita itu harus punya tujuan jangka panjang, tujuan paling ujung, untuk akhirat, dan parameter ‘yang lebih baik amalnya’ itu tak mungkin jika tak datang dari dari sang pemberi kehidupan, melalui syariat yang dibawa oleh Rasulullah, pembawa risalahNya. Ini tuntunanNya.
Bahwa Kita diberi sebagian ilmu sekaligus ditutup dari sebagian ilmu lainnya oleh Allah, agar bisa memiliki pandangan yang baik, namun sesekali pandangan kita tertipu dengan kamuflase sehingga kesimpulan kita melenceng. Sebagaimana pandangan kita terhadap sebuah sedotan yang dimasukkan ke dalam gelas bening berisi air, seakan sedotan tersebut bengkok padahal tidak.
Karena akal itu ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Mata tak bisa melihat tanpa cahaya, jika dipaksakan maka akan menabrak sana sini. Cahaya yang terang pun jika matanya rusak, tetap susah melihat.
Akal tanpa wahyu tak kan mencapai tujuannya, begitu pun wahyu yang dipahami dengan akal yang rusak, outputnya adalah hanya pendapat-pendapat yang lemah akibat salah paham.
Maka berjalan di bawah cahaya hidayah merupakan nikmat yang begitu agung. Cahaya ini yang akan menerangi perjalanan kita dan menuntunnya menuju keselamatan, cahaya Al Qur’an dan cahaya iman. Lihat firman Allah,
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِى مَا ٱلْكِتَٰبُ وَلَا ٱلْإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلْنَٰهُ نُورًا نَّهْدِى بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura : 52).
Maka sungguh suatu yang amat sangat berharga, ketika kita disingkapkan ilmu dan hidayah. Sehingga kita tahu kisi-kisi kehidupan setelah kehidupan dan kita pun tahu apa yang harus dilakukan di dunia ini. Agar kita, tak perlu tahu semuanya, melainkan cukup bisa melihat tanda-tandanya, melalui petunjukNya, untuk kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan, sehingga setiap nafas dan gerakan kita menjadi bernilai, memiliki value ubudiyah, berwujud ibadah kepadaNya. Allahul musta’an.