Tentang Makna Dzihar
Beberapa kali mendengar penjelasan agak melenceng dari yang diinginkan syariat, ketika dai menyampaikan bahasan tentang dzihar, Yaitu ketika seorang suami mengatakan, ‘kamu seperti punggung ibuku’, lalu mereka memaknainya secara letterlijk. Maka ini begitu riskan menimbulkan konflik dalam realitanya terutama di kalangan awam. Mari kita bahas sedikit!.
Larangan dzihar tercantum dalam firman Allah,
وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا۟…
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan …” (QS. Al Mujadilah : 3).
Pertama, dzihar secara bahasa merupakan turunan dari kata ad-Dzahru yang artinya punggung. Karena hubungan badan ibarat menunggang. Sementara menunggang umumnya di atas punggung.
Sedemikian hingga makna dzihar menurut istilah syariat maksudnya seorang suami menyamakan istrinya dengan mahramnya, terkait hubungan biologis. Sighatnya bermakna kias, bukan letterlijk.
Karena dzihar di zaman jahiliyah menjadi semacam bentuk talak paling berat. Lalu Allah mengeluarkannya dari bab talak (bukan termasuk talak), meringankannya dan menjadikan sebagai bab kaffarah, bukan kagi termasuk talak.
Jadi, maksud orang arab dahulu ketika mengatakan ‘kamu seperti punggung ibuku’, seakan-akan ia sedang mengatakan ‘kamu sudah seperti mahramku sehingga tak mungkin aku berhubungan biologis denganmu lagi’, dalam artian lain sighat ini merupakan bentuk halus ucapan ‘aku sudah tak memiliki hasrat lagi denganmu’.
Sehingga hukum dzihar secara taklifi adalah haram, tidak boleh dilakukan. Sedangkan hukum secara wadh’i dinilai sah dan ada konsekuensinya jika syarat sahnya terpenuhi.
Maka menyamakan sifat tertentu seorang istri dengan ibunya, tidak serta merta menjadi zhihar, jika hanya sekedar menyamakan fisik dan tanpa ada niat dzihar dari pelakunya.
Bukan juga termasuk zihar, ketika seorang istri menyerupakan suaminya dengan punggung ayahnya (ayah istri). Namun dia wajib membayar kaffarah sumpah, dan dia harus memberi kesempatan suami untuk berhubungan dengannya sebelum membayar kaffarah sumpah.
Begitu juga suami mengucapkan ucapan dzihar dalam keadaan sangat marah, tidak sadar / mabuk / mengigau, atau terpaksa, atau tidak sengaja maka tidak jatuh dzihar kepadanya dan ia tak wajib membayar kafarat. Pun juga jika maksudnya bercanda, juga tidak jatuh dzihar, karena sekalipun secara lahiriyah ridha, namun secara batin dia tidak ridha. Sementara hukum asal, tidak ada masalah dengan nikahnya dan bara’ah dzimmah (tidak ada beban).
Namun jika ia katakan demikian karena ia tidak lagi memiliki hasrat kepada istrinya, maka ia termasuk dzihar. Terkecuali, ketika suami menyerupakan salah satu anggota badan istri dengan ibunya yang berkenaan dengan anggota intim, seperti kemaluan misalnya, maka ini masuk dalam zhihar sekalipun tidak ada niatan dzihar dan ia tetap wajib membayar kafarat.
Demikian penjelasan singkat tentang dzihar, semoga semakin menambah ilmu dan ketaqwaan kita kepada Allah. Allahul musta’an.