Aqidah,  Tazkiyah

Antara Feodalisme dan Beratnya Ikhlas

Sebenarnya kasus meng*bl*kkan penjual teh itu biasa, maksudnya biasa karena budaya feodal, kebiasaan ‘menjilat’ di negeri kita begitu kental ratusan tahun lamanya. Dan mungkin tak berlebihan jika dikatakan bahwa feodalisme adalah lawannya tauhid dan keikhlasan.

Saya ingat tulisan Buya Hamka tentang jamaah haji Indonesia yang disambut orang bergamis di pelabuhan Jeddah, dan mereka ‘ngalap berkah’ dengan mencium tangannya, tapi kok bau, ternyata yang dikira habaib itu hanya porter biasa. Dan tentu ini bertentangan dengan syariat Islam, karena Islam begitu getol memerangi ini. 

Lihatlah kini tak ada lagi perbudakan legal, karena syariat Islam paling awal mengaturnya. Rasulullah pun tak suka disambut berdiri sehingga makruh berdiri dalam rangka penghormatan berlebihan. Dalam Islam, hidup sederhana dengan berjualan es teh tentu jauh lebih mulia dibanding hidup mewah dengan menjilat penguasa. Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. al-Baqarah: 41)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memuji para lelaki yang giat bekerja mencari nafkah untuk keluarganya sekalipun dari sisi dunia dianggap pekerjaan rendahan, karena ia mandiri, menjauhi yang haram apalagi menjilat orang. Beliau bersabda,

إن أطيب كسب الرجل من يده

“Pendapatan terbaik adalah hasil jerih payah tangannya sendiri.” (HR. Ibnu Majah 2138 ; shahih)

Tentu budaya feodal tak bisa terhapus ketika sudut pandang kita sempit, sebagaimana anak kecil yang lebih memilih permen dibanding segenggam permata. 

Feodalisme akan terhapus hanya jika seorang muslim membawa value yang sejalan dengan tauhid dan keikhlasan. Dan ikhlas dalam bersikap, beramal, apakah untuk dipandang manusia atau berharap ridha Allah, biasanya akan terlihat jelas ketika ia berhadapan dengan yang lebih lemah.

Pernah berbincang dengan penjaga toko di mall, ia Quraisy, ahlul bait, dan ia tak merasa istimewa, biasa saja, yang kalau di Indonesia bisa jadi sudah dicium-cium tangannya. Pernah pula seseorang mengundang anak yatim, ternyata ia malah malu karena pengurusnya menyuruh mereka mencium tangannya, setelah itu ia pun kapok dan menggunakan metode yang lebih rahasia. Tentu bukan berarti mencium tangan itu haram ya.

Namun berbeda ketika hatinya sudah feodal, ia selalu ingin dipuji dan dihormati. Ketika beramal sedekah, tatapannya sinis, atau ia hina dulu calon penerimanya, bahkan ketika salah dan didesak meminta maaf ia meminta maaf dengan rangkulan intimidasi. Padahal Allah beri peringatan keras terhadap orang feodal seperti ini,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan sedekahmu dengan menyebutnya dan menyakiti si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. ..”

Orang seperti ini divonis riya dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Karena ia bermuka dua, kepada bawahannya ia begitu sinis congkak ketus, sedangkan kepada bosnya kepalanya mantuk-mantuk seperti ayam mengais tanah. 

Maka sungguh hati feodal pasti akan dijauhkan dari keikhlasan, tidak akan menumbuhkan kelapangan bagaikan batu yang ditutupi oleh tanah lalu tersiram hujan deras, sehingga debu di atas batu itu hilang tak berbekas. Begitulah nasib orang feodal, tak ada keikhlasan di hatinya. Pahala amal perbuatan dan infak mereka hilang tak tersisa di sisi Allah. 

Maka ikhlas, menjaga niat lillah itu begitu berat. Saking beratnya Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik”. 

Ikhlas tak bisa didapat kecuali dengan usaha terus menerus dan bersungguh-sungguh. Latihlah keikhlasan kita dengan memperbanyak amal rahasia, jangan ingin dilihat orang, buang rasa senang dipuji dan rasa benci dicaci, alihkan supaya dipuji Allah, jangan ingin dihargai, dan harus sadar bahwa amalan kita itu adalah ujian, kita hanya perantara. 

Allahul musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *